KONTRIBUTIF MANDATORI BIODIESEL DAN UTILITAS EMISSION SAVING BIOFUEL DARI LIMBAH KELAPA SAWIT DALAM UPAYA NET ZERO EMISSION DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENERIMAAN NEGARA
Isu negatif kelapa
sawit sebagai penyumbang karbon dioksida masih kerap hadir dalam upaya
peningkatan budidayanya. Kelapa sawit diisukan tidak mampu berperan sebagai
tanaman biasanya yakni sebagai penyerap karbon dioksida dan menghasilkan
oksigen pada proses fotosintesis. Sehingga tidak dapat menyimpan stok karbon
dalam bentuk biomassa. Lalu meyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak
berperan solutif terhadap peningkatan suhu global. Isu ini dikemas dengan
julukan bahwasanya kelapa sawit adalah salah satu emitter gas rumah kaca akibat
deforestasi, ekspansi lahan, dan pembakaran lahan. Emitter tersebut ialah
karbon dioksida salah satu penyumbang gas rumah kaca.
Dengan demikian,
perkebunan kelapa sawit selalu dihadapkan dengan black campaign emitter
terbesar gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Padahal isu peningkatan gas
rumah kaca karena Perkebunan kelapa sawit tidak berdasarkan fakta dan data.
Pada dasarnya setiap aktivitas di muka bumi ini akan menghasilkan emisi gas
rumah kaca termasuk perkebunan. Namun, Perkebunan kelapa sawit juga berperan
sebagai penyerap karbon dioksida lebih banyak daripada penyumbang gas Karbon
dioksida. Berdasarkan sumber emisi FAO( 2021) emisi terbesar berasal dari
sektor peternakan global sebesar 76%. Dan dari sektor pertanian padi sebesar
17%. Sehingga sangat jelas sekali bahwa Perkebunan kelapa sawit tidak berperan
sebagai emitter terbesar pemanasan global (PASPI, 2023).
Aktivitas
Perkebunan kelapa sawit yang dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca ialah
sektor industri pada pembuangan limbah di Pabrik kelapa sawit. Dimana proses
pengolahan CPO (crude palm oil) akan menyumbangkan gas metana, karbon dioksida,
dan lain-lain sebagai emisi gas rumah kaca. Sehingga dalam menghadapi
permasalahan ini, BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit)
menerapkan program mandatori Biodiesel. Koordinator Bidang Perekonomian
Airlangga Hartarto mengatakan penerapan program mandatori biodiesel dilakukan
untuk mencapai ketahanan dan swasembada energi menuju transisi energi yang adil
dan merata.
Untuk mencapai
tujuan ini, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong penggunaan sumber
energi baru terbarukan, termasuk melaksanakan program mandatori biodiesel.
“Mandatori biodiesel ini merupakan alternatif bahan bakar solar yang digunakan
pada mesin diesel dan juga akan memberikan energi ramah lingkungan bagi
Indonesia,” kata Airlangga. Kebijakan B35 diharapkan mampu menyerap 13,15 juta
kiloliter biodiesel untuk industri dalam negeri. Penerapan kebijakan ini juga
diperkirakan akan menghasilkan penghematan devisa sebesar USD 10,75 miliar dan
meningkatkan nilai tambah industri hilir sebesar Rp 16,76 triliun. Kebijakan
B35 juga diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton
CO2. (BPDPKS, 2024).
Namun, alokasi
penggunaan CPO sebagai biodiesel ini menimbulkan berbagai macam kontroversi
karena persaingan pangan dengan energi. Alokasi CPO yang seharusnya untuk
minyak goreng malah digunakan untuk pengolahan biodiesel. Sehingga harga minyak
goreng akan melonjak tinggi karena kelangkaan. Dan jika menggunakan nabati
lainnya akan menyebabkan deforestasi besar-besaran dan merukan lingkungan. Oleh
karena itu program mandatori biodiesel ini harus diimbangi dengan efisiensi dan
keberlanjutan dengan emission saving melalui biofuel dari limbah kelapa sawit.
Limbah Perkebunan kelapa sawit jika dibiarkan begitu saja akan menyumbangkan
emisi gas rumah kaca dan pencemaran lingkungan.
Limbah kelapa
sawit ini ialah tandan kosong kelapa sawit, limbah cair kelapa sawit, dan
pelepah kelapa sawit. Sehingga daripada limbah ini merusak lingkungan, maka
limbah ini lebih baik diolah menjadi energi terbarukan di Pabrik Kelapa sawit.
Energi Listrik yang biasanya berasal dari bahan bakar fosil digantikan dengan
energi nabati dari limbah kelapa sawit itu sendiri. Sehingga bahan bakar fosil
yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca akan digantikan dengan energi
terbarukan biofuel dari limbah kelapa sawit. TKKS merupakan limbah padat yang
dihasilkan pada saat pengolahan buah kelapa sawit.
Limbah ini dapat
diolah menjadi bahan bakar nabati seperti biodimetil eter (DME) yang berpotensi
menggantikan bahan bakar gas (LPG) dan solar. POME mengandung minyak nabati
yang dapat diubah menjadi biofuel melalui proses seperti perengkahan katalitik,
menghasilkan biofuel dengan sifat yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan
bakar. Bagian kelapa sawit yang tidak terpakai, seperti batang dan daunnya,
juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel. Proses pengolahan ini
membantu mengurangi limbah sekaligus menyediakan sumber energi terbarukan.
Sehingga Pemanfaatan biofuel limbah kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca karena mengolah penyumbang gas metana dan karbon dioksida di udara.
Selain itu, Tindakan ini dapat diimbangi dengan ekspansi lahan kelapa sawit
untuk peningkatan tanaman penyerap karbon dioksida.
Dengan demikian
kelapa sawit akan berkontribusi dalam menghasilkan oksigen untuk mengimbangi
emisi gas rumah kaca sembari mengurangi eksitensi gas emisi di udara. Dampak
dari ekpansi Perkebunan kelapa sawit ini sendiri akan meningkatkan devisa
negara karena produktifitas yang semakin meningkat. Selain itu akan berperan
penting dalam program net zero emission 2060 dimana Perkebunan kelapa sawit
akan menurunkan jumlah gas metana dan karbon dioksida.
Penulis : Eli Wahyuni Nasution
DAFTAR PUSTAKA
BPDPKS (2024).
Mandatori Biodiesel Untungkan Rakyat Indonesia. bpdp.or.id. Jul 6, 2024 11:38
PASPI (2023).